Selasa, 30 Juni 2009

Perjalanan Spiritual


Motiv

Hati yang panas oleh nafsu dunia, kering dan diliputi kegalauan hingga semakin menjauh dari dekapan kasih Yang Maha Penyayang. Keinginan untuk sejenak menyejukkan diri, merenung dan menenangkan batin, lebih mendekat, takorrub agar merasakan kehadiran-Nya atau bahkan jika bisa menghadirkan_Nya dalam kehidupan selamanya hingga kehidupan fana ini berganti.


Perjalanan 1

Berangkat dari Pujasera Sragi, jam 8.00 menggnakan armada Prima Xpress, melalui jalanan beraspal. Persinggahan pertama kali di Makam Raden Fatah, Raja Demak. Beliau yang telah meneladani tindakan nabi ketika hendak membangun pemerintahan maka hal yang pertama dibangun adalah spirit yang dilambangkan dengan membangun masjid. Nabi Muhammad saw membangun Masjid Nabawi, Raden Fatah membangun Masjid Agung Demak

Terjadi sebuah peristiwa penting, 2 peserta dari rombongan kami telat kembali ke pangkalan sehingga waktu tersita sia2 sedikitnya 1,5 jam. Hal ini merupakan ujian kesabaran bagi panitia dan bagi saya sendiri tentunya yang dipaksa berdiam diri ditengah panasnya matahari dan waktu yang sangat terbatas.

Di Kudus hujan lebat mengguyur. Sampai di masjid, saya bersama rombongan melakukan sholat Dhuhur dan Ashar Jama' takdim. Makam sunan kudus terletak di belakang Masjid Agung Kudus, dengan menara batu batanya yang khas masih kokoh berdiri hingga sekarang. Setelah membaca ayat suci Al-Qur'an dan mengheningkan cipta sejenak didekat Makam beliau, maka perjalanan berlanjut.

Perjalanan berlanjut ke makam Sunan Kalijogo, Kadilangu. Sunan Kalijogo, wali yang relatif muda pada masanya namun memiliki kearifan budi yang luar biasa.

Dengan melewati ratusan tangga, menaiki bukit Muria peluhpun tak terasa menetes. Udara yang begitu dingin terasa panas oleh pembakaran zat makanan. Sekitar magrib tepat aku sampai du puncak dimana Sunan Muria dimakamkan. Kakiku terasa gemetar. Kepalakupun pusing dan bumi terasa bergoyang. Aku sedikit limbung. Ini berlangsung sejenak dan aku kembali bisa tegak berdiri setelah segelas kopi panas dan semangkuk mi rebus masuk ke dalam perutku. Alhamdulillah, berkat rizkimu ya Allah aku bisa beribadah..

Tibalah di Tuban, makam sunan Bonang. Aku berjalan kaki sepanjang kurang lebih 1 km.

Selasa, 23 Juni 2009

SaJak SajAk HaRapAn


SAJAK-SAJAK HARAPAN

Sebuah telaga nampak didepanku
Diantara keringnya padang pasir
Di sela-sela retaknya bumi

Namun langkahku terhenti
Dan sekali-kali terhenti
Oleh sekujur luka ditubuhku

24-2-05

Kamuflase



KAMUFLASE


senyum tergerai
diguyur tawa membahana
tak nampak luka menganga
diri menipu diri

7-2-04


SaJak SajAk UsaNg




MATI



Daun jati jatuh tersungkur kebumi

Meski akar kuat batang kokoh membaja

Tapi tak mampu mempertahankan tiupan lirih

Helai demi helai melayang-layang diangkasa

Kuning dan akhirnya hitam mengering

Daun yang mampu menyejukkan hati

Kini layu dan mati



7-2-04

Sabtu, 20 Juni 2009

PENCURI BUNGA ANGGREK

Tiap pagi selalu tergeletak bunga anggrek ungu di meja belajar Tiwi. Bunga anggrek ungu yang masih segar berembun. Barangkali baru dipetik dari kebun. Ini sungguh tak masuk akal. Di taman belakang rumah kami tak ditanam bunga anggrek. Tiwi tak pernah mau berterus terang, siapa yang telah memberinya bunga anggrek itu. “Anggrek ini diletakkan seseorang di depan pintu!” tukasnya.
Aku jadi penasaran. Tiwi sering salah tingkah. Gadis kecil, delapan tahun umurnya, menerima bunga anggrek tanah warna ungu dengan rasa sayang, dan rasa takut yang terpendam. Ia jadi salah tingkah. Sering mengurung diri di kamar.

Tiwi mulai menjauh dariku. Ia masih memintaku mengantarkannya ke sekolah. Tapi saat ia mandi, yang biasanya mesti kumandikan, kini dijalaninya sendiri. Kamar mandi ditutup rapat. Ia mengguyur air pelan, lamban, dan samar.
Muncul dari kamar mandi, tubuh Tiwi harum, segar, terbebat kain handuk, dengan bintik-bintik begitu pelan, lamban dan samar.
“Aku sudah besar, mau mandi sendiri,” kata Tiwi, setengah menunduk.
“Tak lagi mandi dengan Ayah?”
Menggeleng. “Tidak lagi”

Lama Tiwi berdandan di kamar. Aku menantinya dengan berdebar-debar. Merasa terputus dengan kebiasaan sehari-hari. Tiwi mulai menghindariku. Ia bahkan menutup diri di kamar. Aku mengetuk pintu tiga kali. Terdengar teriakan dari dalam, “Sebentar, aku lagi nyisir rambut!”


Rambut Tiwi panjang terurai, sebatas punggung, dan biasa kusisir halus, pelan-pelan. Biasanya dia menikmati sisiranku, dan bergegas berlari-lari mencari ibunya untuk memasang 'cepet' pada rambutnya. Kali ini ia tak memerlukan siapapun. Berdandan cantik. Ketika aku menghampirinya dalam kamar, buru-buru dia sembunyikan selembar kertas –cabikan kertas yang lusuh– dengan tulisan hampir-hampir tanpa bentuk. Tergeragap, hatiku berdesir ketika ia terpekik, mendorongku keluar kamar, dan menutup pintunya dengan hentakan keras.


Rupanya seorang laki-laki telah menulis surat untuk Tiwi. Di dalam mobil, saat mengantarkannya ke sekolah, kurayu dia agar mengatakan, siapakah lelaki yang telah mengiriminya surat dan bunga anggrek tanah warna ungu. Dia memilih membungkam. Kudesak. Dia tambah bungkam.


***


Bayangan lelaki kecil bertelanjang dada pada pagi berkabut melintas di teras rumah. Lampu teras sudah kupadamkan. Cahaya dari langit belum menerangi tanah. Masih remang-remang. Lembah berembun. Kubuka pintu. Untaian bunga anggrek tanah warna ungu, segar, baru saja dipetik dari kebun, tergeletak di teras. Di bawahnya selembar kertas bertuliskan beberapa kalimat yang sudah luntur tintanya, meleleh karena embun yang menetes dari bunga anggrek. Aku terkesiap. Lelaki kecil degil itu, dengan perut membuncit, mata meradang, berlari dalam remang pagi. Rambutnya jarang kemerahan. Cuma bercelana pendek. Lusuh. Diakah pengirim bunga anggrek ungu dan surat cinta buat putriku?

“Hai! Berhenti kau!” hardikku.
Lelaki degil berperut buncit itu menoleh. Bibirnya bergetar. Bibir yang pecah, menyisakan darah mengental. Wajahnya lebam membiru. Terus dia berlari, menghilang, turun ke tebing. Lenyap di antara semak belukar.
Kuturuni jalan setapak ke jurang. Semak-semak menjalar, duri-duri menggurat kakiku. Tak kurasakan pedih luka yang menggores. Tak kurasakaan nyeri yang menyengat. Aku memburu bayangan bocah degil berperut buncit itu memburunya seperti menangkap kelelawar yang menyusup ke dalam gua. Tak terlacak. Tapi aku terus saja meniti jejak kaki di jalan setapak aku mencapai sendang. Disini orang –orang kampung mandi dan mencuci. Airnya bening. Mengucur dari pancuran bambu yang bergemericik dalam sunyi.

Jalan setapak berkelok ke arah ladang petani. Aku menelusuri kebun-kebun pisang. Ladang singkong, dan hamparan sawah yang hijau. Tak pernah aku mencapai daerah ini. kulalui jalan berumput, karena kulihat bayangan lelaki degil pengirim bunga anggrek ungu itu lenyap di tikungan jalan berumput. Tak pernah kulalui jalan setapak ini. aku terperanjat menyaksikan hamparan kebun anggrek tanah berbunga ungu. Dan seorang ibu muda – dengan wajah seperti diraut pemahat – tengah merawat bunga-bunga anggrek.

Dia terkesiap memandangiku. Tapi segera ia menunduk. Tanpa memberiku kesempatan untuk menegurnya.
Perempuan muda itu bermata bening, dan sesekali memancarkan kilaunya saat memandang, cemerlang di hari yang masih berkabut. Sepasang mata yang tak bersentuhan dengan orang-orang luar kebun anggrek. Rasanya belum lama bunga-bunga anggrek tanah itu ditanami. Mungkin perempuan muda itu seorang pendatang yang membangun rumahnya diantara kebun anggrek. Aku tak mengenalnya, meski setahun sudah menempati rumahku. Memang pernah kudengar cerita orang mengenai hamparan kebun anggrek tanah dan rumah megah di tengah-tengahnya. Tapi tentang ibu muda dengan wajah sesempurna rautan pemahat itu, aku tak mengenalnya ia disebut-sebut para tetangga tinggal bersama suami, seorang lelaki berwajah ganteng dan berkumis tebal. Bagiku perempuan itu seperti turun dari kahyangan, dan menetap di bumi sebagai Dewi bunga anggrek.

Dari dalam kebun anggrek, terdengar seruan seorang anak yang berteriak kesakitan. Teriakan itu melengking. Jeritan yang jauh dari masa silam yang sunyi dan pedih. Lelaki degil itukah yang melengking tajam, menjerit dengan suara parau? Aku menghampiri perempuan cantik yang sedang merawat bunga anggrek.

Suara siapa yang berteriak itu?

O, itu teriakan si maling kecil! Dia selalu mencuri anggrek tiap menjelang pagi!

Tak terlihat wajah penganiaya dan lelaki kecil degil pencuri bunga anggrek ungu. Hanya kudengar bentakan-bentakan kasar seorang lelaki. Caci maki. Hardikan. Ancaman, suara lengking parau lelaki kecil degil meminta ampun.

Daun-daun anggrek tanah itu bergoyangan. Lelaki kecil degil itu berlari menyibak daun-daun anggrek tanah. Kutangkap sosok tubuhnya. Kotor, sewarna lumpur. Kulitnya bersisik seperti kulit ular sawah. Kemilau cahaya matahari pagi menampakkan sepasang matanya yang kelam memendam dendam. Sepasang mata serupa tungku bara. Ia sempat memandangiku sekilas. Mulutnya setengah menganga. Tak ingin kulihat lidahnya terjulur. Aku takut bila lidah itu terjulur memanjang, dan bercabang.


Cepat sekali lelaki kecil degil itu berlari. Terus berlari di jalan berumput ke arah bukit terpenicl ke sebuah dusun. Tetanga-tetanggaku menyebutnya dusun pengemis. Dari dusun itulah selalu berhamburan lelaki dan perempuan degil, dengan pakaian compang-camping, kadang bertelanjang dada, tertatih-tatih menuju kota. Sore harinya, saat cahaya matahari meredup, mereka tertatih-tatih pulang ke dusun, melewati jalan berumput, serupa kelelawar kembali ke gua.


***


SENJA baru saja mengendap, ketika istriku terburu-buru menyambutku turun dari mobil, sepulang kantor. Wajahnya muram. Gugup.

“Tiwi belum pulang! Dia juga tak pergi mengaji!”
“Mungkin dia pergi k rumah teman”
“Dia biasa pamit”
Aku segera teringat lelaki kecil degil pencuri bunga anggrek ungu. Mungkinkah Tiwi ke rumah lelaki itu di dusun pengemis? Aku teringat sendang berair bening di lereng tebung, di bawah pohon trembesi tua, sebelum mencapai kebun anggrek. Tiwi suka bermain air. Di kolam renang, ia paling suka berendam lama-lama. Dia juga pernah bercerita padaku tentang sebuah sendang berair bening, yang mendorongnya bermain-main air kesana. Mandi telanjang bersama teman-teman sebaya. Di sinikah ia bersua lelaki degil pencuri bunga anggrek ungu?

Tak kutemukan siapapun di sendang itu. Hanya pohon trembesi tua, pancuran bambu yang mengucurkan air bening. Batu-batu, lumut. Ikan-ikan berenang di sendang. Angin lembah. Aku kehilangan arah langkah kaki. Berjalan mendekati kebun anggrek tanah. Terus melangkah, menyusuri jalan berumput ke dusun pengemis.


Aku tak yakin bila Tiwi berada di dusun itu. Tapi, aneh, langkahku seperti digerakkan kekuatan gaib ke sana. Telah jauh jalan yang kutempuh. Melewati ladang dan sawah, belum juga mencapai dusun pengemis. Langkah kakiku seperti tak mencapi dusun itu. Sebuah dusun yang terpencil, tampak samar dari jalan berumput yang kutempuh. Tapi langkah kakiku seperti tak beranjak.

Hampir gelap-cahaya matahari cuma bayang-bayang kemerahan-ketika aku menyaksikan arak-arakan kecil mengusung keranda, berbelok ke arah kuburan. Kulihat Tiwi membawa vas berisi bunga anggrek ungu, dengan tangan bergetar, bibir bergetar, melangkah paling depan, di sisi kiai yang sangat kukenal, Jaelani. Suara-suara doa sepanjang jalan berumput, yang diserukan kiai, seperi tak bersambut. Lelaki-perempuan dan anak-anak berperut buncit bersisik yang melayat, seperti tercecer-cecer, di belakang pengusung keranda.

Usai pemakaman, Tiwi meletakkan vas berisi bunga anggrek ungu di sisi potongan bambu yang dibenamkan di utara gundukan makam itu. Orang-orang berjongkok, mengikuti kiai berdoa. Hanya tinggal beberapa orang yang berjongkok mengelilingi makam. Wajah-wajah murung yang tertunduk itu, seperti kehilangan perasaan sedih, dan bergumam mengikuti doa kiai. Anak gadisku, Tiwi, tampak sangat berduka bibirnya tiada henti membisikkan doa hampir tanpa suara. Sudut matanya bergurat merah, berair tipis, merembes di pipi.

Langit dan tanah telah menjadi legam, ketika kiai menuruni makam. Aku menguntit di belakangnya.

Tiwi yang mengundangku untuk memberi doa anak yang meninggal,”kata kiai. “Baru sore tadi, Tiwi memberi tahu, seorang bocah di dusun pengemis mati telantar. Untung Tiwi segera datang ke rumahku. Kalau tidak mungkin bocah itu dimakamkan dengan cara mereka.

Kami tiba di jalan bersimpang. Kami berpisah kusalami kiai yang bergegas ke masjid. Aku menuntun Tiwi pulang. Tak berani kutanyakan, bocah lelaki degil manakah yang telah meninggal. Aku melihat banyak bocah lelaki degil dengan perut membuncit dan kulit bersisik, yang rata-rata mereka sebaya.
Dari mana kau kenal mereka? Desakku pada Tiwi.
Kami bertemu saat mandi di sendang, dan bermain di kebun anggrek.
Dan kau suruh mereka mencuri bunga anggrek untukmu?”
Tidak, ayah. Mereka sendiri yang memetik bunga itu untukku.

***


Masih terlalu gelap, menjelang subuh, aku merasakan angin yang senyap dan pedih. Telah menjadi kebiasaanku, bangun dini hari, membuka pintu berharap menghirup angin segar dan mendengar nyaring kicau burung yang jauh di kebun-kebun petani. Yang mengejutkanku, seuntai bunga anggrek tanah warna ungu tergeletak di teras rumah dengan secabik kertas bertulis tangan yang acak-acakan. Kucari-cari lelaki degil dengan perut buncit dan kulit bersisik di sekitar rumah. Kutemukan dia bersembunyi di balik pagar, berlari dalam gelap pagi.


“Hai tunggu!”hardikku. Lelaki degil berperut buncit bersisik sekujur tubuhnya menghilang dalam gelap menuruni jalan setapak ke jurang. Aku mengikuti langkahnya. Tak bisa kuterka, apakah lelaki degil itu yang berhari-hari telah mengirimi bunga anggrek tanah warna ungu pada Tiwi atau lalaki degil yang lain.

Aku tergetar, merasakan hati yang getir. Memburu lelaki degil itu hingga ke kebun anggrek. Dan bertemu perempuan muda berwajah sesempurna rautan pemahat. Kali ini aku bisa memandangi kulit tubuhnya yang jernih dan matanya yang bening. Ia tersenyum, lembut dan bergairah.
“Kau mencari lelaki degil pencuri bunga anggrek itu?
Dia bersembunyi disini?
Dengarkan teriakannya! Dia tertangkap sewaktu lari melewati kebun ini, dan dihajar suamiku!
Teriakan lelaki degil itu memilukan. Jeritannya melengking parau. Hampir meraung. Tersekap sunyi kebun anggrek. Terdengar pula suara lelaki pemilik kebun anggrek. Menghardik lelaki degil yang kabur, melarikan diri, ketakuan meningalkan kebun anggrek. Lenyap di jalan berumput ke dusun pengemis yang jauh dan terpencil.

Lelaki pemilk kebun anggrek itu muncul. Tampan kekar. Berkumis tebal. Sepasang matanya bengis. Aku bergidik. Buru-buru menyusur kembali jalan setapak ke rumah. Langkahku terasa ngilu. Akankah esok pagi kembali ku dengar lelaki tampan itu menghajar lelaki degil berperut buncit yang mencuri bunga anggrek ungu untuk anak gadisku?



(dari harian Suara Merdeka)

Rabu, 18 Maret 2009

Pengalaman Pertama

Aku Sadar,
Ini Adalah Pengalaman Pertamaku,
Menapakkan kakiku,
Di dunia yang penuh kepalsuan ini.